Free Monkey ani Cursors at www.totallyfreecursors.com
APEL-HIJAU.COM: HIPERBILIRUBIN PADA NEONATUS

Sunday, July 15, 2012

HIPERBILIRUBIN PADA NEONATUS



BAB II
PEMBAHASAN
    Definisi
Hiperblirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam daarah meningkat (Bobak, Maternity Health Care, 2002). Hyperblirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah bayi melebihi batas normal yang disertai ikterus (kuning) yang tampak pada kulit, mukosa, sclera mata, dan urine.
Jaundice atau ikterus : warna kuning pada kulit dan atau sclera mata akibat penumpukan bilirubin indirek akibat dari hasil pemecahan sel darah merah.
Bilirubin : hasil metabolism “heme” yang sebagaian besar bertasal dari haemoglobin.
 Gyperblirubinemia : kadara bilirubin > 10mg% pada bayi aterm dan 12.5mg% pada bayi premature


                                    Fisiologik                   40-60% bayi aterm
Ikterus                         patologik                     80% bayi BBLR dan premature

2.     Etiologi
Etiologi hiperbilirubin antara lain :
1.     Peningkatan produksi
·        Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
·        Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
·        Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat pada
bayi hipoksia atau asidosis
·        Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
·        Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid)
·        Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek
meningkat misalnya pada BBLR
·        Kelainan congenital
2.     Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3.     Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
4.     Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
5.     Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

3.     Tanda dan Gejala
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a.      Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b.     Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

4.     Metabolisme bilirubin
Produksi bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin, dimana dalam keadaan normal, sel darah merah akan pecah dalam waktu 120 hari. Pada bayi premature akan lebih mudah pecah, yaitu 80-90 hari. Hal inilah yang menyebabkan kadar bilirubin pada bayi premature cenderung untuk meningkat. Transportasi bilirubin melalui hepar untuk diproses, bilirubin indirek atau uncojugated di dalam tubuh dan bersifat larut dalam lemak akan berikatan dengan albulin masuk ke hati untuk diproses menjadi bilirubin indirek atau conjugated yang bersifat larut dalam air. Dimana setelah diproses melalui hati, berubah menjadi urobilinoggen yang mewarnai air seni dan strektobilinogen yang mewarnai feses

Bil. Indirek – albumin                        Protein Y dan Z

                                                Bil. Indirek dikonjugasi : di hepar
                                                Dengan bantuan : enzyme glucorony trasferase
Bil. Indirek – Dikonjugasi – Bil. Direk

Sirkulasi : Enterohepatik       bil. Direk diserap kembali didalam usus dan kembali ke hepar, berubah menjadi bilirubin indirek.

5.     Patofisiologi


·       ABO antagonism
Bayi hyperbilirubin adalah akibat dariproses hemolisis, karena ABO antagonism lebih sering ditemukan di Indonesia daripada rhesus. ABO antagonis hanya terjadi apabila ibu bergolongan darah O.
Tahun 1900, Landsteiner membagi golongan darah manusi menjadi 4 golongan, yaitu : A, B, O, dan AB
Gol. Darah
Aglutinogen
Aglutinin
A
A
Β
B
B
Α
AB
A dan B
-
O
-
β dan α

Apabila bayi lahir bergolongan darah A atau B, maka kemungkinan akan mengalami hyperbilirubin apabila ibu bergolongan darah O. hal ini di sebabkan waktu terjadi pemotongan tali pusar, darah ibu dapat masuk ke sirkulasi darah bayi. Ibu mempunytai anti A (β) dan anti B (α) pada aglutininnya, misalnya bayi bergolongan darah B maka aglutinogen bayi adalah B dan aglutinogennya α (anti A), tetapi ibu memiliki 2 aglutinin. Saat darah ibu masuk ke dalam darah bayi, maka ada pertemuan antara aglutinogen B pada bayi dengan  β dari darah ibu. Hal inilah yang dapat menyebablan hemolisis. Apabila hyperbilirubin ini bersifat patologis lebih dari 17-20 mg% pada hari pertama, biasanya dilakukan exchange transfuse.
·       Rhesus factor
Rhesus (Rh) factor adalah ketidakcocokan factor rhesus antara ibu dan janin. Rhesus ini dapat menimbulkan komplikasi pada bayi, yaitu erytroblastosis foetalis/norbus haemolythicusneonaturum. Keadaan rhesus ini dijumpai pada ibu dengan Rh negative menikah dengan pria Rh positif. Jika Rh ibu poditif, maka tidak ada masalah dengan  rhesus.
Pada keadaan rhesus negative, bila ibu hamil pertama kali, maka ada eritrosit bayo masuk melalui plasenta dimana bayi Rh positif masuk kedalam peredaran darah ibu, terjadilah reaksi antigen-antibodi, dimana ibu hanya membentuk antibody, sehingga bayi yang dilahirkan pun sehat. Pada kehamilan kedua, ibu sudah banyak mengandung antibody. Antibody ini masuk ke dalam darah bayi, maka eritrosit bayi akan bereaksi demgan antibody ibu, akibatnya eritrosit bayi akan mengalami hemolisis, terjadilah hyperbilirubin dan biasanya ibu mengalami abortus atau bayi meninggal.
Rhesus ini dapat dicegah pada masa antepartum dimana pemberian rhogam meinggu ke-28 perinatal dan diberikan kembali dalam 72 jam setelah melahirkan.
·       Defisiensi enzyme G6PD (glucose phosphate dehidrogenase)
Erytrocyt adalh sel yang mempunyai metabolisme sangat tinggi. Defisiensi enzim G6PD dapat mempercepat prosees hemolisis sel darah merah.
Enzim G6PD berguna untuk   :
§  Mempertahankan bentuk sel darah merah
§  Mengurangi kadar methemoglobin yang merupakan hasil oksidasi dari hemoglobin
§  Mengatur pertukaran na dan kalium
§  Mempertahankan enzim-enzim agar tetap aktif
Sumber energy segala kegiatan dalam erytrocyt adalah glukosa, dalam metabolism glukosa ini, G6PD mempunyai peran yang sangat penting
Factor pencetus
Pemakaian obat-obatan yang dapat mempercepat hemolisis dan defisiensi G6PD. Contoh : antimalaria, gol. Sulfonamide, antypiretik, sulfanes dan analgetik, kapur barus dan jamu-jamuan diduga juga sebagai factor pencetus.
Pada bayi baru lahir, keseimbangan antara factor hemolisis serta kemampuan hepar untuk mengubah heme menjadi bilirubin sangatlah peka. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dapat mempertinggi factor hemolisis atau mengurari kemamouan hepar mengkonjugasi bilirubin dengan mudahnya mengubah keseimbangan sehingga timbullah hyperbilirubinemia,
6.     Ikterus
Adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
A.    Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam Schwats (2005) adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
·          Timbul pada hari kedua – ketiga
·          Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan
·          Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
·          Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
·          Ikterus hilang pada 10 hari pertama
·          Tidak mempunyai dasar patologis
B.    Ikterus Pathologis/ hiperbilirubinemia
Ikterus patologis/hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Menurut Surasmi (2003) bila :
·        Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
·        Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam
·        Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan 12,5 % pada neonatus cukup bulan
·        Ikterus disertai proses hemolisis
(inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis)
·        Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.

7.     Penilaian Ikterus Menurut Kramer
Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam gambar di bawah ini :
Tabel hubungan kadar bilirubin dengan ikterus
Derajat
Ikterus
Daerah Ikterus
Perkiraan kadar Bilirubin (rata-rata)
Aterm
Prematur
1
Kepala sampai leher
5,4
-
2
Kepala, badan sampai dengan umbilicus
8,9
9,4
3
Kepala, badan, paha, sampai dengan lutut
11,8
11,4
4
Kepala, badan, ekstremitas sampai dengan tangan dan kaki
15,8
13,3
5
Kepala, badan, semua ekstremitas sampai dengan ujung jari

8.     Pemeriksaan labolatorium
¾    Pemeriksaan bilirubin neonates berkala
¾    Pemeriksaan darah untuk G6PD
¾    Pemeriksaan Coomb’s test
¾    Pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi beserta rhesusnya
¾    Pemeriksaan lain yanf diperlukan : darah rutin, biakan darah, CRP, dan lain-lain
9.     Pencegahan terapi
¾    Pengawasan antenatal yang baik
¾    Mencegah pemakaian obat-obatan, miisalnya sulvanobrosin, oksitosin dan sebagainya
¾    Mencegah dan mengobati hipoksia
¾    Pengawasan yang baik di bansal bayi
¾    Pemberian feeding secara dini
¾    Pencegahan infeksi
Terapi
¾    Terapi disesuailkan dengan diagnose dan hasil laboratorium terhadap bilirubin
¾    Bilirubin 10mg% : jemur matahari
¾    Bilirubin  10-12mg%: jemur dan questran/urdafalk
¾    Queatran 1/5 bks : berat badan <2500 g
¾    ¼ bks : berat badan 2500-3500 g
¾    1/3 bks : berat badan >3500 g
¾    Bilirubin 12-15 mg% : jemur, blue light dan questran/urdafalk
¾    Bilirubin 15-20mg% : plasma/albumin, dosis 20-25cc/kg berat badan, jemur sinar BL dan questran/urdafalk
¾    Bilirubin >20mg% : exchange transfusion, blue light dan questran
Mengurangi bilirubin indirek dalam darah dengan :
¾    Obat : questran, urdafalk, albumin, antibiotik
¾    Terapi sinar : dengan terapi sinar bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat berubah menjadi bilirubin direk yang larut dalam air
¾    Trasfusi tukar : bila kadar bilirubin lebih dari 20mg%, untuk mencegah terjadinya kerusakan otak
10.  Terapi Sinar Blue Light
Terapi sinar adalah terapi untuk mengatasi keadaan hiperbilirubunemia dengan menggunakan sinar berenergi tinggi yang mendekati kemampuan maksimal untuk menyerap bilirubin. Yang biasanya sering digunakan dan paling efisien adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm. Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Cara kerja terapi sinar
Pada penelitian terdahulu dilaporkan bahwa terapi sinar dengan mempergunakan kekuatan 400-500 nm secara invitro dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sukar larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang larut dalam air. Perubahan kimiawi yang terjadi dianggap karena adanya oksidasi dari bilirubin indirek sehingga pada terapi sinar perubahan yang terjadi pada ikterus tersebut adalah akibat foto oksidasi. Tetapi kenyataan yang terjadi ialah dengan ditemukan penurunan kadar  bilirubin darah yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi. Selain itu juga ditemukannya peninggian kadar bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum.
Mc Donagh dkk. melaporkan bahwa baik secara invitro maupun invivo terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin indirek yang mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hati ke dalam saluran empedu. Isomer dari bilirubin indirek ( 4Z, 15 Z ) akan secara cepat diubah menjadi senyawa polar yang tidak toksik lagi ( 4Z, 15 E ) yang masuk ke dalam darah dan diekskresi ke empedu tanpa dikonjugasi terlebih dahulu. Meningkatnya fotobilirubin di dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan cepat meninggalkan usus. Melihat betapa besar peranan terapi sinar untuk hiperbilirubinemia maka penggunaannya telah dilakukan secara luas tetapi tetap saja tidak bisa menggantikan indikasi utama untuk transfusi tukar. Paling tidak terapi sinar bisa untuk mengurangi kemungkinan dilakukannya transfusi tukar pada hiperbilirubinemia.

Indikasi penggunaan terapi sinar
Saat ini tindakan terapi sinar dilakukan terhadap penderita :
1.     Setiap saat kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg%
2.     Berat badan lahir yang sangat rendah, penyakit hemolitik pada neonatus
3.     Pra transfusi tukar
4.     Pasca transfusi tukar

11.  Komplikasi sinar blue light
¾    Kerusakan retina mata
¾    Uerine kuning tua, tinja lembek/encer dan frekuensi meningkat
¾    Kehilangan cairan tubuh tinggi
¾    Hypotermi atau hypertermi
¾    Skin rash        erupsi pada kulit
¾    Warna kulit seperti tembaga
¾    Kontak ibu dan bayi berkurang
Gangguan lainnya misalnya : gangguan minum letargi

12.  Asuhan keperawatan
a.     Pengkajian
·     Riwayat ibu
¾    Ketidaksesuaian golongan darah (ibu golongan darah : O) dan rhesus negative
¾    Konsumsi obat-obatn dan janu selama hamil
¾    Penggunaan kapur barus
¾    Kelahiran prenatur
¾    Masalah dalam persalinan : KPD, infeksi intrapartum
·     Pemeriksaan bayi
¾    Ikterik pada sclera mata, kulit dan mukosa
¾    Dehidrasi
¾    Kejang
¾    Menghisap lemah
¾    Hipotonus
·       Pengkajian psikososial
¾    Kontak ibu dan bayi akibat terapi blue light
¾    Perasaan berakah orang tua
¾    Dampak sakil perawtan phototerapi
·       Pengkajian tingkat pengetahhuan
¾    Perawatan yanga akan dilakukan
¾    Tingkat pendidikan
b.     Diagnose keperawatan
1.        Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d efek dari phototerapi
2.        Resiko tinggi injury pada syaraf b.d peningkatan bilirubin indirek dalam darah
3.        Kurang pengetahuan b.d kesalahan interpretasi dan tidak mengenal sumber informasi.

c.      Intervensi keperawatan
1.     Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d efek dari phototerapi
·       Pertahankan suhu tubuh, sebelum, selama dan setelah prosedur
R/ membantu mencegah hipotermia dan vasospasme, menurunkan resiko fibrilasi vertikel dan menurunkan viskositas darah
·       Pastikan golongan darah dan faktor RH bayi dan ibu
R/ perbedaan resus dapat menyebabkan bayi menghasilkan antibody yang dapat meningkatkan hemolisis.
·       Pantau tekanan vena, nadi, warna dan frekuensi pernapasan sebelum, selama, dan setelah transfusi
R/ membuat nilai data dasar, mengidentifikasi potensial kondisi tidak stabil.
·       Pantau tanda-tanda ketidak seimbangan elektrolit.
R/ hipokalsemia dan hiperkalemia dapat terjadi selama dan setelah transfusi
·       Kaji bayi terhadap pendarahan berlebihan dari lokasi IV setelah transfusi
R/  penginfusan darah yang di beri heparin menubah koagulasi selama 4-6 jam.
2.     Resiko tinggi injury pada syaraf  b.d peningkatan bilirubin indirek dalam darah
·       Tinjau catatan intra partum terhadap faktor resiko yang khusus, seperti BBLR, prematuritas, cedera vaskular, sepsis, atau polisitemia.
R/ kondisi klinis tertentu dapat menyebabkan pembalikan barier darah ke otak memungkinkan ikatan bilirubin terpisah pada tingkat sel, meningkatkan resiko terhadap keterlibatan SSP.
·       Pertahankan bayi tetap hangat dan kering.
R/ stres dingin menyebabkan asam lemak meningkat sehingga kadar bilirubin yang bersirkulasi meningkat.
·       Observasi sklera dan mukosa oral, kulit menguning segera setelah pemutihan.
R/ mendeteksi bukti atau derajat ikterik.
·       Perhatikan usia bayi pada awitan ikterik, bedakan tipe ikterik.
R/ ikterik fisiologis biasanya tampak antara hari pertama dsn ke dua kehidupan.
3.     Kurang pengetahuan b.d kesalahan interpretasi dan tidak mengenal sumber informasi.
·       Berikan informasi tentang tipe-tipe ikterik dan faktor-faktor patofisiologis dan impliksi mada datang dari hiper bilirubin.
R/ memperbaiki kesalahan konsep dan meningkatkan pemahaman menurunkan rasa takut dan rasa bersalah.
·       Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap kadar bilirubin.
r/ memungkinkan orang tua mengetahui tanda-tanda peningkatan kadar bilirubin.
·       Diskusikan pentalaksanaan di rumah dari ikterik fisiologis ringan atau seang, termasuk penngkatan pemberian makan.
R/ pemahaman orangtua membantu mengembangkan kerja sama mereka bila bayi di pulangkan.
·       Diskusikan kemungkinan efek-efek jangka panjang dari hiperbilirubinemia dan kebutuhan terhadap pengkajian lanjut dan intervensi dini.
R/ kerusakan neurologis di hubungkan dengan karnikterus meliputi kematian, palsiserebral, retardasi mental, kesulitan sesnsori, perlambatan bicara, koordinasi buruk, kesulitan pembelajaran, dan hipoplasia email atau warna gigi hijau kekuningan.

BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
       Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam
B.      SARAN
       Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa STIKESMI dalam memberikan pelayanan Keperawatan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk para tim medis agar dapat meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan sehingga dapat memaksimalkan kita untuk memberikan health education dalam perawatan bayi dengan hiperbilirubin.

DAFTAR PUSTAKA

Maryllinn E doengoes.  Rencana perawatan maternal.2001.Jakarta.EGC
Ns.Regina VT Novita,S kep.Kep. maternitas. 2011.Bogor. Galia Indonesia
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.

No comments:

Post a Comment